Senin, 14 Oktober 2013

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan seorang anak lelaki yang senang
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.  Ia senang memanjat hingga ke pucuk pohon apel itu, dan memakan buahnya.  Ia juga suka tidur-tiduran di bawah teduhnya daun-daunnya yang rindang. Si Anak Lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. 

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.


Suatu hari anak lelaki itu datang dengan wajam muram.
"Mari bermain-main lagi denganku,” pohon apel itu mencoba menghibur si anak itu... 
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”


Pohon apel sedih dan berkata. "Engkau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Dengan demikian engkau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kesukaanmu," kata Si Pohon Apel.
 
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu bergegas mengambil keranjang dan mulai memetik buah apel satu persatu.  Setelah terkumpul buah pohon apel itu ia pun pergi dengan penuh sukacita meninggalkan Si Pohon Apel yang kembali sepi dalam kesendiriannya.

Si Anak Lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali bersedih.

Setelah lama tidak pernah datang, pada suatu ketika  Si Anak Lelaki yang sudah menjadi laki-laki dewasa datang lagi, dengan wajah muram.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. 

“Aku tak punya waktu bermain lagi sekarang ,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” 

"Duh, maaf, aku pun tak memiliki rumah, kata Pohon Apel. Tetapi engkau dapat menebang ranting dan dahanku untuk dijadikan rumah.  

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu. Setelah terkumpul sesuai dengan kebutuhannya, pulanglah lelaki itu dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang.

Anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.


Pada suatu musim panas, si anak lelaki datang lagi.  Pohon apel sangat bersuka cita menyambutnya.
”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”

"Maaf aku tidak memiliki kapal untuk kuberikan padamu,"kata pohon apel itu.  
"Tetapi kamu dapat menebang batangku dan engkau dapat  menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian anak lelaki yang sudah menjadi tua itu menebang batang pohon apel dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar mengarungi samudera dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Pohon apel kembali tinggal sendiri kesepian dan sedih.

Bertahun-tahun si anak lelaki tidak pernah datang.  Hingga pada suatu waktu si anak lelaki kembali.  Si pohon apel senang, tetapi segera menjadi sedih karena ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat diberikannya kepada anak lelaki itu

"Anakku, aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu,” kata pohon apel.
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.

“Aku juga tidak memiliki batang dan dahan yang boleh kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu semua,” jawab anak lelaki itu.

“Aku benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat aku berikan padamu. Yang tinggal hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

”Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang.  Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu,” demikian anak lelaki itu dengan suara kelelahan.

“Oooh, bagus sekali. Tahukah engkau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.  Pohon apel itu tersenyum sambil menitikkan air mata.


---------------
Refleksi diri :

Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. 
Ketikakita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. 
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. 

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu.  Tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Jika kita masih memiliki orangtua, sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan 
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita. Mumpung ada waktu dan ada kesempatan, nyatakanlah dalam kata-kata dan perbuatan yang menunjukkan betapa kita pun mengasihi orangtua kita dan sangat berterimakasih kepada mereka.

----------------

Pohon apel itu pun dapat pula diibaratkan sebagai Tuhan.
Acapkali kita meminta kepada Tuhan ketika kita merasa kesulitan atau menginginkan sesuatu.
Tetapi segera kita meninggalkan Tuhan ketika kita mulai sibuk dengan kehidupan kita di dunia.

Meski kita seringkali meninggalkan Tuhan, tetapi Tuhan tak pernah meninggalkan kita dan selalu ada untuk kita.




Senin, 07 Oktober 2013

Si Tukang Kayu


Seorang tukang kayu tua bersiap untuk pensiun. Ia memberitahu pemilik perusahaan kontraktor tempatnya bekerja, mengenai keinginannya untuk meninggalkan pekerjaannya dan menikmati masa tuanya bersama istri dan keluarga besarnya. Ia menyadari akan kehilangan penghasilan bulanannya.  Tetapi ia merasa harus pensiun karena ia merasa sudah sangat lelah.

Pemiliki perusahaan merasa sedih kehilangan karyawannya yang baik dan bertanya apakah ia bersedia membangun satu rumah lagi untuknya sebagai permintaan pribadi. 


Si Tukang Kayu menyetujui permintaan pemilik perusahaan itu, tetapi karena hatinya sudah ingin segera berhenti bekerja, maka ia tidak mengerjakan proyek itu dengan sungguh-sungguh. Ia mengerjakn dengan asal-asalan dan menggunakan bahan yang sekedarnya saja.  Begitulah caranya dalam mengakhiri karirnya.

Akhirnya pekerjaan si Tukang Kayu selesai, dan sang Pemilik  datang meninjau rumah itu sambil membawa kunci rumah dan menyerahkannya kepada si Tukang Kayu.  

“Ini rumahmu, hadiah dari perusahaan,” sang Pemilik berkata.

Betapa kagetnya si Tukang Kayu. Ia malu sekali.  Seandainya saja ia tahu bahwa ia sedang membangun rumahnya sendiri, tentulah ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.  Sekarang ia harus tinggal di rumah yang dibangunnya dengan asal-asalan. 
--------------
Refleksi diri
Demikian pula yang sering terjadi pada kehidupan kita.  Kita lebih memilih untuk bereaksi terhadap kehidupan dibanding menjalani kehidupan itu sendiri.  Tidak jarang kita berkeluh kesah dan bersungut-sungut dengan keadaan yang kita alami.  Akhirnya kita akan bertindak ala kadarnya, dan tidak melakukan usaha yang terbaik. Dan kemudian kita terkejut, melihat situasi yang sebenarnya kita ciptakan sendiri.  Kita mesti “tinggal” di “rumah” yang berkualitas rendah, padahal itu adalah rumah yang kita bangun sendiri.

Membangun rumah menggambarkan bagaimana kita menjalani kehidupan.   Kalau kita membangun rumah dengan sukacita dan antusias, kita akan melakukan yang terbaik untuk menghasilkan yang terbaik.  Kita akan memilih “bahan-bahan” yang terbaik dan membangun dengan sungguh-sungguh

Mari berpikir seperti Tukang Kayu yang baik yang akan membangun rumah dengan sungguh-sungguh.  Setiap hari ketika kita mengetukkan palu di atas paku, menempatkan papan-papan, dan mendirikan dinding-dinding rumah, mari berpikir bahwa kita sedang membangun rumah kita sendiri.  Dengan demikian kita akan melakukanny dengan sebaik-baiknya dan sungguh-sungguh

Kehidupan kita sekarang adalah bagian dari apa yang kita lakukan kemarin, pilihan-pilihan yang sudah kita ambil di masa lalu. 
Kehidupan kita esok adalah bagian dari tindakan dan pilihan-pilihan yang kita buat hari ini. 

Mari membangun kehidupan kita dengan bijaksana. Hanya satu kali kehidupan ini akan kita bangun di dunia ini.  Lakukanlah dengan sungguh-sungguh dengan sepenuh hati.

Disadur dari kisah "The Builder"