Jumat, 13 September 2013

Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu Michael sudah menikah 30 tahun lamanya, dan Michael belum pernah melihat mereka bertengkar. Bagi Michael, perkawinan ayah dan ibunya menjadi teladan baginya. 

Setelah menikah, Michael dan istrinya sering bertengkar karena hal-hal kecil.  Ketika suatu saat ia pulang ke rumah orangtuanya, Michael menuturkan keluhannya pada ayahnya.  Ayahnya mendengar dengan baik tanpa berbicara apa-apa.  Setelah Michael selesai bercerita, ayahnya bangkit berdiri dan kemudian datang lagi dengan membawa beberapa tumpuk buku-buku, dan diletakkan di meja di depan Michael. Sebagian buku itu sudah berwana kuning, sepertinya sudah lama disimpan.

"Bukalah dan bacalah !" kata ayahnya.
Michael mengambil salah satu dari buku itu dengan penuh rasa ingin tahu.  Satu persatu halaman dibukanya.  Ia melihat tulisan ayahnya, agak miring dan aneh, ada yang jelas ada juga yang semrawut, bahkan ada juga tulisan yang ditulis dengan tinta yang tebal sampai-sampai menembus beberapa halaman di belakangnya.

Michael membaca isi buku itu satu persatu.  Semuanya merupakan catatan-catatan ringan dan sepele. 

"Suhu udara berubah menjadi dingin, ia mulai menjawab baju wol untuk anak-anakku." 
"Ia membuatkan masakan kesukaanku yang sudah lama kuinginkan."
Ada banyak tulisan sepele lainnya. Semuanya berisi catatan kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, cinta ibu kepada anak-anak dan keluarga.

Dengan berlinang air mata Michael berkata kepada ayahnya, "Kalian berdua selalu penuh cinta.  Saya sangat kagum kepada ayah dan ibu."
"Tidak perlu kagum, kamu juga bisa," kata ayahnya
Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun, tidaklah mungkin menghindari pertengkaran.  Ibumu kalau kesal, suka cari gara-gara dan sering mengomel melampiaskan kemarahannya.  Aku ikut terbawa kesal, tetapi kemudian aku menuliskan apa yang Ibumu sudah lakukan demi rumah tangga ini. Seringkali hatiku penuh amarah saat menuliskannya, sehingga pen yang aku gunakan menembus kertas hingga sobek. Terkadang aku harus berulangkali merobek kertas dan menuliskan kembali.  Tetapi aku terus berusaha menuliskan semua kebaikannya. Kalau aku belum bisa menemukan kebaikan ibumu yang harus kutuliskan, aku diam merenung hingga akhirnya emosiku lenyap, yang tinggal adalah kesadaran diriku akan kebaikan hati ibumu. 

Michael mendengarkan dengan baik, lalu bertanya," Apakah ibu pernah melihat semua catatan ayah ini ?"
Ayah tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku tentang kebaikanku.  Seringkali kami saling bertukar buku dan saling mentertawakannya."

Michael terdiam, dan kemudian sadar akan rahasia pernikahan orangtuanya, "Mencintai itu sangat sederhana, yaitu ingat dan catat semua kebaikan psangan, dan lupakan segala kesalahannya.

 

Kamis, 12 September 2013

Tuhan Menjawab Doa - 2

Tuhan Menjawab Doa Bahkan Sebelum Kita (sempat) Berdoa - 2

Cerita ini adalah cerita untuk peristiwa kedua yang dialami penulis dengan judul yang sama. Cerita ini saya dapatkan dari teman yang mendapatkannya dari temannya yang juga mendapatkannya dari temannya lagi.....
 
 
Beberapa waktu lalu, adik saya terkena usus buntu. Ia sudah merasakan itu sejak dua minggu sebelumnya, namun tidak pernah mengeluhkan tentang sakitnya itu. Hingga pada hari minggu ia menderita kesakitan, dan didiagnosa penyakit maag nya kambuh kembali. Senin esoknya penyakitnya makin parah, dan kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit saja.

Mau ke rumah sakit mana, RS A atau RS R ?
Saya memikirkan dua alternatif itu. R lebih dekat ke rumah tapi A memiliki reputasi yang lebih bagus. Saya tidak bisa memilih dan manusia lama saya masih berpikir untuk mengandalkan logika, sampai untunglah saya teringat untuk meminta petunjuk pada Tuhan. Saya tidak masuk ke dalam kamar menutup pintu dan berlutut berdoa, karena itu belum jadi kebiasaan saya, namun saya mengucapkannya dalam hati sambil beraktivitas.. ("Tuhan, bantu saya memilih rumah sakit A atau R?")

Saya bahkan tidak punya gambaran bagaimana Tuhan akan menjawabnya. Yang pasti saya yakin bukanlah berupa suara mengguruh disertai halilintar menyambar, "AAA !!!"
Atau e-mail yang tiba-tiba muncul, atau sms nyasar..

Namun jawaban NYA  ternyata cepat, bahkan tidak sampai dalam satu jam.
Bagaimana?
Bagaimana Ia menjawab?  IA menjawab dengan menanamkan keyakinan penuh pada hati saya untuk memilih rumah sakit R.

Kenapa bukan berupa sesuatu yang ajaib? Kenapa bukan berupa sesuatu yang menakjubkan?

Tapi memang begitulah terkadang Tuhan berbicara, manusiawi dan lembut. Mari kita belajar untuk mendengar suara NYA.
Sore itu saya belajar mendengar suaraNYA. Pilihan yang semula 50% - 50% menjadi 80% - 20%, namun itu sudah cukup untuk saya. Kami pun menunggu suami saya pulang yang akan mengantarkan kami ke rumah sakit R.

Setengah delapan, setengah sembilan....suami saya belum datang juga.
Jam enam sore tadi, saat kami berbicara melalui telepon, ia mengatakan sedang dalam perjalanan menuju rumah dosennya. Saya memperkirakan ia tiba di rumah jam tujuh. Tapi sekarang sudah hampir setengah sembilan. Suami saya sudah di akhir skripsi, dan itu berarti pertemuan dengan dosennya tidak mungkin selama itu.

Akhirnya ia tiba juga jam setengah sembilan lebih. Ia bercerita ada dua mahasiswa yang mengambil kelas malam juga, tengah berkonsultasi dengan dosen tersebut, dan mereka kemudian mengobrol tentang hal-hal biasa lama sekali. Saat giliran suami saya, dosen tersebut cuma memerlukan waktu sepuluh menit untuk melakukan ACC dan pertemuan itu berakhir. Tapi suami saya sudah menunggu lebih dari dua jam, yang berarti kepergian kami ke rumah sakit juga tertunda lebih dari dua jam !

Percayakah Anda bahwa IA  mengatur segala sesuatu indah pada waktu NYA?
Semula saya tidak terlalu percaya, tapi pengalaman saya membuat saya sekarang percaya.
  
Adik saya sudah sangat kesakitan di rumah. Bergerak sedikit saja ia mengerang dan merintih. Entah kenapa sama sekali tidak terlintas di pikiran saya untuk memanggil taksi, atau meminta bantuan tetangga atau saudara. Adik saya mengatakan ia takut usus buntunya sudah pecah, kalau memang itu usus buntu. Saya mengatakan padanya berdoa saja.

Kami pun tiba di UGD rumah sakit jam setengah sepuluh malam. Dan seperti dugaan saya sebelumnya memang penyakit yang diderita adik saya adalah usus buntu.
“Dan ini harus segera ditangani, ada dokter yang sedang mengoperasi pasien usus buntu juga di atas, Anda mau langsung dioperasi malam ini?” demikian petugas di UGD menyampaikan kepada kami.

Tentu saja, adik saya sudah sangat kesakitan seperti itu. Ibu dan ayah saya mengurus pengambilan sample darah untuk memastikan diagnosa dokter UGD itu.  Suami saya menelepon perusahaan asuransi, sementara saya menunggu adik saya di ruang darurat UGD yang dibatasi tirai-tirai.
 
“Kita berdoa yuk..” aku mengajak.

Doa yang jauh dari sempurna, kami panjatkan malam itu. Kami berdoa agar Tuhan memilihkan dokter untuk kami, agar Tuhan ikut campur tangan dalam operasi itu.

Operasi pun dilakukan. Jam satu malam, dokter keluar dari ruang operasi untuk memperlihatkan usus buntu yang berhasil ia potong.
 
“Kenapa baru sekarang datang?” dokter itu sedikit marah. “Usus buntunya sudah lama pecah, dan sudah bernanah ke mana-mana, sampai-sampai yang baru kami ambil saja sudah 50 cc!”

Kami terbengong dan ternganga.

Ketika operasi selesai dan dokter itu keluar dengan pakaian biasa, ia berkata adik saya masuk ICU. Meremang rasanya tubuh ini. Saya mengira ini cuma operasi usus buntu biasa, tapi nyatanya adik saya sekarang di ICU dengan tiga selang dipasang dalam perutnya.

Kami menunggu mondar-mandir di ICU tengah malam itu, memperhatikan foto-foto para dokter yang ada di rumah sakit itu.

Ternyata, dokter yang melakukan operasi tadi, yang memarahi kami tadi, adalah direktur rumah sakit ini ! Dokter itu mempunyai deretan gelar yang banyak sekali di belakang namanya. Ia orang yang pintar sekali yang bahkan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri. Dan kami bahkan sebelumnya tidak tahu namanya, kami bahkan tidak pernah meminta ingin dioperasi oleh dokter itu.

“Oh ya, ia dokter terkenal..” tante saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

“Oh ya, ia biasanya praktek setelah jam sembilan malam..” om saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

Apakah Anda merinding? Saya juga.
 
Tuhan telah menjawab doa bahkan jauh sebelum doa itu diucapkan naik ke hadirat Nya. Ia sudah menyediakan jauh sebelum segala peristiwa terjadi. Percakapan dua mahasiswa kelas malam itu dengan dosen, yang cuma berbicara tentang basa-basi. Apakah itu ada tujuan Nya? Oh ya. Menurut Anda, kalau suami saya tiba jam tujuh dan kami sampai rumah sakit lebih awal, apakah mungkin dokter yang melakukan operasi adalah dokter lain, yang mungkin saja terkejut dengan kondisi adik saya yang usus buntunya sudah pecah dan nanah mengalir ke mana-mana ? Adik saya bisa saja meninggal.

Anda tahu ucapan direktur rumah sakit itu pada siang hari setelah adik saya sadar di ICU? Ia bilang, “..kamu ini paling menyusahkan operasi !”
Seorang direktur rumah sakit besar dengan deretan gelar di belakangnya, dan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri mengatakan itu operasi yang sulit!

Bukankah pekerjaan Tuhan sangat luar biasa?

Pada saat saya bertanya pada Nya, rumah sakit A atau R, ya Tuhan? Ia menjawab, R saja, Aku memilihkan yang terbaik untukmu. Kusediakan ia di sana, sedang melakukan operasi usus buntu juga, karena cuma ia yang bisa melakukan operasi yang sulit ini. Tapi jangan datang terlalu cepat, nanti kau diberikan pada dokter lain. Datanglah tepat pada waktu Ku. Segala sesuatu indah pada waktu Ku.

Dan malam itu di UGD, saya berdoa dengan adik saya, pilihkan dokter untuk kami, Tuhan, campur tangan dalam operasi ini, ya Tuhan.

Anda tahu, saya membayangkan saat itu Tuhan tersenyum.
"Anakku, Aku sudah memilihkan dokter untukmu jauh sebelum kau meminta padaKu, Aku sudah turut campur dalam segala sesuatunya untuk mengantarmu tepat pada waktu Ku.

Ya. Ia menjawab doa, bahkan sebelum kita (sempat) berdoa.

Rabu, 11 September 2013

Makian dan Pujian - Pohon yg kehilangan rohnya


Ada satu kebiasaan unik yang ditemui pada penduduk asli yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan.   Penduduk asli yang tinggal di sana mempunyai sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon.

Untuk apa ?
Kebiasaan ini dilakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Tujuannya supaya pohon itu segera mati.

Caranya ?
Beberapa penduduk yang kuat dan berani memanjat hingga ke atas pohon itu.  Ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka bersama-sama berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam dalam sehari.  Hal ini dilakukan terus menerus selama kurang lebih empat puluh hari.

Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga akan mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk asli ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.

Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati. Hal ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Bahwa setiap kali kita meneriaki makhluk hidup, maka berarti kita sedang mematikan rohnya. 


Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda ?
"Ayo cepat !"
"Dasar lelet !"
"Bego banget sih !"
"Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan?"
"Berisik !"


Pernahkan Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati ?
"Saya menyesal menikah dengan orang seperti kamu !"
"Kurang ajar !"
"Bodoh, perempuan kampungan !"

Jika Anda seorang guru, pernahkah Anda memaki anak didik ?
"Tolol ! Soal mudah begitu saja tidak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter ?"
"Dasar anak nakal !"

Jika Anda seorang atasan, pernahkah Anda berteriak kepada bawahan saat merasa kesal ?
"Karyawan seperti  kamu banyak di luar sana.  Kalau resign, ada 1000 orang yang antri mengisi jabatanmu !"
"Kerja begini saja tidak becus ? Rugi saya menggaji kamu?

Ada banyak perkataan makian yang dapat kita lontarkan.
Ingatlah !
Dari kebiasaan penduduk Solomon kita belajar bahwa setiap kali kita berteriak memaki seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka dan sebagainya,maka berarti kita sedang membunuh orang tersebut perlahan-lahan.  Kita sedang mematikan roh orang tersebut.  

Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan yang kita keluarkan karena emosi kita, perlahan-lahan pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.

Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan.

Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan ? Tujuannya supaya orang yang jauh itu mendengar.  Kalau kita berteriak pada orang yang jaraknya dekat, orang tersebut akan menjadi marah dan akan membalas berteriak.  Teriakan itu membuat hubungan kita yang dekat menjadi jauh. Tanpa sadar akhirnya kita pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi hanya karena perasaan-perasaan dendam,benci atau kemarahan yang kita miliki.

Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu.
Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan.
Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.

Damai di hati, damai di bumi.


Tuhan Menjawab Doa - 1

Tuhan Menjawab Doa Bahkan Sebelum Kita (sempat) Berdoa - 1

Dikutip dari kisah seseorang yang saya dapat dari seseorang yang diperolehnya dari seseorang lainnya.......
 
Senja itu hujan rintik-rintik membuat jalanan licin. Ayah saya berusia limapuluh sembilan tahun namun masih kuat mengendarai motornya, dan senja itu ia membonceng saya. Rumah saya terletak di pinggiran Bandung dengan jalanan sulit meliputi dua tanjakan curam, yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak menawarkan masalah apa-apa pada ayah saya, sampai senja itu.

Entah karena ban motornya yang gundul, entah karena jalan licin yang baru terguyur hujan, yang pasti di tikungan kedua, ayah saya kehilangan kendali akan motornya, dan motor itu jatuh ke arah kanan.

Saya bukan perempuan yang bisa bereaksi cepat jika ada sesuatu yang terjadi. Pada saat kedua anjing saya berkelahi dan yang satu mencakar bola mata yang lain (sampai tergantung keluar seperti film kartun), saya cuma bisa menangis melihatnya sementara suami saya langsung menelepon dokter hewan kami. Saya juga tidak pernah berlatih karate, dan terus terang bukan penggemar olahraga, sehingga sampai saat ini saya masih terheran-heran apa yang menyebabkan saya bisa bereaksi begitu cepat, tangkas, dan tepat.

Pada saat motor ayah saya oleng ke kanan (saya menggunakan rok sehingga posisi duduk saya miring), ayah saya terkena akibat terlempar ke kiri, tapi dengan posisi seperti harimau mengaum dengan kedua tangannya terangkat ke atas. Ia tidak bisa menahan gravitasi bumi yang menariknya dan didepannya adalah pohon tinggi serta benteng rumah orang. Tidak ada alternatif yang lain. Entah keningnya akan menghantam pohon, atau dinding. Tinggal pilih saja.

Ayah saya punya sejarah stroke dua kali. Jika kepalanya terbentur keras seperti itu saya bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dan kejadian itu berjalan sangat cepat dalam hitungan tiga sampai lima detik.

Anehnya, bahkan sampai saat ini, saya masih bisa melihat kejadian itu di depan mata saya, karena saya menyaksikannya dalam adegan slow motion, benar, seperti ada remote kehidupan yang tombol slow motion nya ditekan. Saya masih bisa mengingat gerakan ayah saya yang seperti harimau mengaum siap menerkam pohon atau benteng rumah orang di depannya.

Dan saya, perempuan yang tidak pernah bereaksi cepat kecuali jika adegan hidup adalah rutinitas yang selalu berulang setiap hari, melompat turun dari motor yang oleng ke kanan, dan dengan gagah berani (sambil menyandang tas berat di bahu kanan), mencengkeram jaket ayah saya yang tebal, dan entah kenapa, punya kekuatan untuk menarik ayah saya sehingga tidak jadi menerkam pohon di depannya.

Cuma tiga sampai lima detik.

Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk berdoa. Tak ada waktu bahkan untuk memanggil nama Tuhan sekalipun. Secepat kedipan mata, bahkan saya pun tidak terpikir untuk melakukan hal itu. Tubuh saya yang melakukannya. Reflek saya yang melakukannya. Reflek? Yang benar saja. Handphone yang meluncur jatuh dari genggaman tangan saya saja, saya tidak mampu menangkapnya. Dalam keadaan nyaman di depan televisi menggenggam cangkir kopi panas saja, kopi saya tumpah tanpa ada yang menyenggolnya. Reflek?

Senja itu saya belajar bahwa Tuhan, penguasa semesta alam dengan galaksi besar tidak terhitung banyaknya, masih bisa memperhatikan seseorang (dua orang) yang berada di galaksi Bima Sakti, di planet bumi, di benua Asia, di negara Indonesia, di kota Bandung, di pinggiran jalan basah setengah kilometer dari rumah saya. Ia masih sempat menolong dengan menggerakkan tangan saya untuk menarik kembali ayah saya yang sedang terjun bebas ke sebuah batang pohon. Padahal, benar, saya bahkan tidak sempat memanggil nama Nya, apalagi berdoa melipat tangan.