Selasa, 05 April 2016

Paku Yang Tertancap

Ini adalah kisah tentang seorang bapak yang memiliki anak yang memiliki sifat pemarah. Bahkan untuk hal-hal sepele, si anak mudah sekali terpancing amarahnya, tidak memandang tempat, waktu dan kepada setiap orang. Sang anak tidak lagi memiliki teman, tetangga mereka banyak yang mengeluh akan sifat anak tersebut. 

Sang ayah sangat mengkhawatirkan sifat sang anak yang kian hari semakin bertambah mudah marah, dan terus berpikir bagaimana cara mengubah sifat buruk anaknya tersebut. 

Suatu malam, sang ayah berbicara berdua dengan anaknya. Ia meminta anaknya untuk berjanji mau melakukan sesuatu untuknya. Setelah membujuk dan meminta dengan sangat sulit, akhirnya sang anak bersedia mengikuti keinginan sang ayah. 

Inilah permintaan sang ayah : Setiap kali anaknya marah, ia harus mengambil paku dan menancapkannya ke sebuat papan di belakang rumah mereka. 

Keesokan hari, sang anak mulai melakukan permintaan ayahnya. Ia menancapkan paku setiap kali ia marah. Banyak sekali paku yang tertancap. Ayah dan sang anak kaget, menyadari jumlah paku yang tertancap berarti sebegitu seringnya sang anak marah. 


Esok harinya sang anak mencoba menahan kemarahan, tetapi masih belum berkurang. 
Hari demi hari berlalu, sang anak belajar menahan kemarahan untuk dapat mengurangi jumlah paku yang tertancap di papan. Bukan hal yang mudah bagi si anak, tetapi ia berusaha untuk mengurangi jumlah paku yang tertancap. 

Suatu hari, sang anak berhasil menahan amarahnya, hari itu tidak ada satu pun paku yang harus ditancapkan olehnya. Dengan gembira sang anak berlari dan menceritakan hal tersebut kepada ayahnya. Bukannya pujian yang didapat, sang ayah malah memberi satu lagi permintaan. Hampir saja sang anak meledak amarahnya, karena kecewa ayahnya tidak merasa senang. Tetapi ia berhasil menahan amarahnya, karena tidak ingin merusak kegembiraannya karena hari itu tidak ada paku yang ditancapkannya. 

Inilah permintaan kedua sang ayah : Setiap kali sang anak merasa gembira, maka sang anak harus mencabut paku yang ditancapkannya itu. 

Sang anak mulai melakukan permintaan ayahnya. Perlahan-lahan paku-paku yang tadinya tertancap di papan pun dicabuti satu demi satu, seiring dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakan si anak. 

Akhirnya semua paku berhasil dicabut. 

Dengan gembira sang anak menceritakan kepada ayahnya bahwa sudah tidak ada lagi paku yang tertancap di papan. Kali ini ayahnya memeluknya dengan air mata berkaca-kaca, dan berkata kepada sang anak, 

“Masih ingatkah kamu ketika dulu sering marah, berapa banyak paku yang tertancap di papan di belakang rumah kita ?" 

Sang anak mengangguk. 

 "Sekarang paku-paku itu sudah tidak ada lagi pada papan itu, karena kamu tidak lagi marah dan berubah menjadi anak yang gembira. Sekarang, apa yang kamu lihat pada papan itu ?" kata ayahnya meminta anaknya untuk melihat papan yang sudah tidak ada pakunya lagi itu. 

"Banyak lubang bekas paku di papan itu," kata sang anak. 

"Betul, anakku. Ada begitu banyak lubang yang masih tersisa di papan itu, meski pakunya sudah tidak ada lagi. Demikian jugalah yang terjadi ketika kamu marah, kamu melukai hati orang lain. Meski kemudian kamu menyesali perbuatanmu itu dan meminta maaf, bekas luka hati itu tidak akan pernah kamu hapus sepanjang hidupnya. Mungkin luka itu sudah tidak lagi perih, itu tandanya ia memaafkanmu. Tetapi bekasnya tetap tersisa. Karenanya, jagalah kata-katamu, jagalah sikapmu agar tidak melukai perasaan hati orang lain. "


 ----------- 
Aristoteles Quotes : 
Anybody can become angry, that is easy. 
But to be angry to the right person, and to the right degree, at the right time and for the right purpose, and in the right way, that is not in everybody's power and is not easy 

Setiap orang dapat dengan mudah menjadi marah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, dengan tingkat kemarahan yang sesuai, pada waktu yang tepat dan dengan tujuan yang benar dan dengan cara yang sesuai, tidak semua orang dapat melakukannya dengan mudah