Rabu, 18 Desember 2013

Perdamaian

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Arun Gandhi, cucu dari Mohandas Karamchan Gandhi atau yang lebih dikenal dengan Mahatma Gandhi.  Saya mencoba menterjemahkannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan membuatnya lebih menarik untuk dibaca, tetapi tanpa menghilangkan esensi dari makna yang ingin disampaikan oleh kisah ini yang sudah berlangsung turun-temurun.



Inilah kisah Arun Gandhi……

Dulu, Kakek suka menceritakan kepada kami sebuah cerita kuno tentang seorang raja India yang terobsesi untuk menemukan makna dari kedamaian

Apakah damai itu ?
Bagaimana kita dapat memperolehnya ?
Apa yang harus kita lakukan ketika kita telah menemukan damai itu?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu menggangu pikiran sang Raja. 
Kemudian sang Raja menawarkan hadiah yang menarik kepada orang-orang pintar di seluruh penjuru negeri, yang akan diberikan kepada siapa saja yang dapat menjawab semua pertanyaannya tersebut.
 
Berbondong-bondong orang pintar dari seluruh negeri datang mencoba, tetapi belum seorang pun yang berhasil menjawabnya.  Hingga pada suatu waktu, seseorang penasihat raja menyarankan agar raja berkonsultasi kepada seorang bijak yang tinggal tidak jauh dari perbatasan kerajaan. 

“Ia adalah seorang tua yang sangat bijaksana.  Orang lain tidak dapat menjawab pertanyaan raja, tetap ia akan dapat menjawab semua pertanyaan Raja itu”demikian penasihat raja berkata.

Raja pun pergi menemui Orang Bijak tersebut dan menyampaikan semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya selama ini.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Orang Bijak itu masuk ke dalam dapurnya dan membawa segenggam biji gandum dan memberikannya kepada raja. 
“Engkau akan menemukan jawabannya di dalam biji gandum ini, “ kata Orang Bijak itu sambil meletakkan biji gandum itu ke telapak tangan sang Raja. 

Meskipun sang Raja masih bingung, tidak mengerti akan maksud si Orang Bijak, tetapi tidak ingin mengakui ketidakpahamaannya.  Raja pulang kembali ke istana dengan membawa biji gandum di dalam tangannya itu.

Sesampainya di istana, sang Raja menempatkan gandum berharga itu di dalam sebuah kotak emas yang kecil, menguncinya dan menempatkan kotak itu di tempat yang aman.   Setiap hari, segera setelah bangun, sang Raja akan membuka kotak tersebut dan melihat biji-biji gandum yang ada di dalamnya.  Ia mencoba mencari jawaban, tetapi tidak berhasil menemukan apa pun.   

Beberapa minggu kemudian, Orang Bijak yang lain lagi melewati tempat itu, berhenti untuk menemui sang Raja. 

Sang Raja bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, yang membutuhkan jawaban.  Sang Raja juga bercerita bahwa alih-alih mendapatkan jawaban, malah kepadanya diberikan beberapa butir biji gandum.  Setiap pagi ia mencari jawaban dari biji-biji gandum yang diberikan oleh Orang Bijaksana itu kepadanya, namun tak kunjung ia dapatkan maknanya. 

“Sederhana sekali, Yang Mulia”, kata Orang Bijak tersebut.
“Sama seperti biji gandum ini merupakan makanan bagi tubuh kita, demikian juga kedamaian merupakan makanan bagi jiwa kita.”

“Sekarang, jika Raja menyimpan biji gandum itu tertutup dan terkunci rapat di dalam kotak emas, maka suatu saat akan hancur begitu saja. Biji gandum itu tidak lagi dapat menjalankan fungsinya sebagai makanan, dan tidak dapat bertambah banyak.  Akan tetapi, jika biji gandum itu diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan elemen-elemen seperti cahaya, air, udara, tanah, maka biji gandum akan berkembang dan bertambah banyak, dan suatu saat Raja akan memiliki sebidang ladang gandum yang hasilnya tidak hanya dapat memberi makan Raja seorang, tetapi banyak orang. Inilah arti perdamaian.  Perdamaian tidak hanya dapat memberi makan kepada jiwa kita saja, tetapi juga jiwa banyak orang, dan harus bermultiplikasi dengan adanya interaksi elemen-elemen.”

-----   


 

Senin, 14 Oktober 2013

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan seorang anak lelaki yang senang
bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.  Ia senang memanjat hingga ke pucuk pohon apel itu, dan memakan buahnya.  Ia juga suka tidur-tiduran di bawah teduhnya daun-daunnya yang rindang. Si Anak Lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. 

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.


Suatu hari anak lelaki itu datang dengan wajam muram.
"Mari bermain-main lagi denganku,” pohon apel itu mencoba menghibur si anak itu... 
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”


Pohon apel sedih dan berkata. "Engkau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Dengan demikian engkau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kesukaanmu," kata Si Pohon Apel.
 
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu bergegas mengambil keranjang dan mulai memetik buah apel satu persatu.  Setelah terkumpul buah pohon apel itu ia pun pergi dengan penuh sukacita meninggalkan Si Pohon Apel yang kembali sepi dalam kesendiriannya.

Si Anak Lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali bersedih.

Setelah lama tidak pernah datang, pada suatu ketika  Si Anak Lelaki yang sudah menjadi laki-laki dewasa datang lagi, dengan wajah muram.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel. 

“Aku tak punya waktu bermain lagi sekarang ,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” 

"Duh, maaf, aku pun tak memiliki rumah, kata Pohon Apel. Tetapi engkau dapat menebang ranting dan dahanku untuk dijadikan rumah.  

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu. Setelah terkumpul sesuai dengan kebutuhannya, pulanglah lelaki itu dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang.

Anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.


Pada suatu musim panas, si anak lelaki datang lagi.  Pohon apel sangat bersuka cita menyambutnya.
”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”

"Maaf aku tidak memiliki kapal untuk kuberikan padamu,"kata pohon apel itu.  
"Tetapi kamu dapat menebang batangku dan engkau dapat  menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian anak lelaki yang sudah menjadi tua itu menebang batang pohon apel dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar mengarungi samudera dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Pohon apel kembali tinggal sendiri kesepian dan sedih.

Bertahun-tahun si anak lelaki tidak pernah datang.  Hingga pada suatu waktu si anak lelaki kembali.  Si pohon apel senang, tetapi segera menjadi sedih karena ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat diberikannya kepada anak lelaki itu

"Anakku, aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu,” kata pohon apel.
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.

“Aku juga tidak memiliki batang dan dahan yang boleh kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu semua,” jawab anak lelaki itu.

“Aku benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi yang dapat aku berikan padamu. Yang tinggal hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

”Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang.  Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu,” demikian anak lelaki itu dengan suara kelelahan.

“Oooh, bagus sekali. Tahukah engkau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.  Pohon apel itu tersenyum sambil menitikkan air mata.


---------------
Refleksi diri :

Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. 
Ketikakita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita
memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. 
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. 

Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu.  Tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Jika kita masih memiliki orangtua, sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan 
berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada
kita. Mumpung ada waktu dan ada kesempatan, nyatakanlah dalam kata-kata dan perbuatan yang menunjukkan betapa kita pun mengasihi orangtua kita dan sangat berterimakasih kepada mereka.

----------------

Pohon apel itu pun dapat pula diibaratkan sebagai Tuhan.
Acapkali kita meminta kepada Tuhan ketika kita merasa kesulitan atau menginginkan sesuatu.
Tetapi segera kita meninggalkan Tuhan ketika kita mulai sibuk dengan kehidupan kita di dunia.

Meski kita seringkali meninggalkan Tuhan, tetapi Tuhan tak pernah meninggalkan kita dan selalu ada untuk kita.




Senin, 07 Oktober 2013

Si Tukang Kayu


Seorang tukang kayu tua bersiap untuk pensiun. Ia memberitahu pemilik perusahaan kontraktor tempatnya bekerja, mengenai keinginannya untuk meninggalkan pekerjaannya dan menikmati masa tuanya bersama istri dan keluarga besarnya. Ia menyadari akan kehilangan penghasilan bulanannya.  Tetapi ia merasa harus pensiun karena ia merasa sudah sangat lelah.

Pemiliki perusahaan merasa sedih kehilangan karyawannya yang baik dan bertanya apakah ia bersedia membangun satu rumah lagi untuknya sebagai permintaan pribadi. 


Si Tukang Kayu menyetujui permintaan pemilik perusahaan itu, tetapi karena hatinya sudah ingin segera berhenti bekerja, maka ia tidak mengerjakan proyek itu dengan sungguh-sungguh. Ia mengerjakn dengan asal-asalan dan menggunakan bahan yang sekedarnya saja.  Begitulah caranya dalam mengakhiri karirnya.

Akhirnya pekerjaan si Tukang Kayu selesai, dan sang Pemilik  datang meninjau rumah itu sambil membawa kunci rumah dan menyerahkannya kepada si Tukang Kayu.  

“Ini rumahmu, hadiah dari perusahaan,” sang Pemilik berkata.

Betapa kagetnya si Tukang Kayu. Ia malu sekali.  Seandainya saja ia tahu bahwa ia sedang membangun rumahnya sendiri, tentulah ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.  Sekarang ia harus tinggal di rumah yang dibangunnya dengan asal-asalan. 
--------------
Refleksi diri
Demikian pula yang sering terjadi pada kehidupan kita.  Kita lebih memilih untuk bereaksi terhadap kehidupan dibanding menjalani kehidupan itu sendiri.  Tidak jarang kita berkeluh kesah dan bersungut-sungut dengan keadaan yang kita alami.  Akhirnya kita akan bertindak ala kadarnya, dan tidak melakukan usaha yang terbaik. Dan kemudian kita terkejut, melihat situasi yang sebenarnya kita ciptakan sendiri.  Kita mesti “tinggal” di “rumah” yang berkualitas rendah, padahal itu adalah rumah yang kita bangun sendiri.

Membangun rumah menggambarkan bagaimana kita menjalani kehidupan.   Kalau kita membangun rumah dengan sukacita dan antusias, kita akan melakukan yang terbaik untuk menghasilkan yang terbaik.  Kita akan memilih “bahan-bahan” yang terbaik dan membangun dengan sungguh-sungguh

Mari berpikir seperti Tukang Kayu yang baik yang akan membangun rumah dengan sungguh-sungguh.  Setiap hari ketika kita mengetukkan palu di atas paku, menempatkan papan-papan, dan mendirikan dinding-dinding rumah, mari berpikir bahwa kita sedang membangun rumah kita sendiri.  Dengan demikian kita akan melakukanny dengan sebaik-baiknya dan sungguh-sungguh

Kehidupan kita sekarang adalah bagian dari apa yang kita lakukan kemarin, pilihan-pilihan yang sudah kita ambil di masa lalu. 
Kehidupan kita esok adalah bagian dari tindakan dan pilihan-pilihan yang kita buat hari ini. 

Mari membangun kehidupan kita dengan bijaksana. Hanya satu kali kehidupan ini akan kita bangun di dunia ini.  Lakukanlah dengan sungguh-sungguh dengan sepenuh hati.

Disadur dari kisah "The Builder"

Jumat, 13 September 2013

Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu Michael sudah menikah 30 tahun lamanya, dan Michael belum pernah melihat mereka bertengkar. Bagi Michael, perkawinan ayah dan ibunya menjadi teladan baginya. 

Setelah menikah, Michael dan istrinya sering bertengkar karena hal-hal kecil.  Ketika suatu saat ia pulang ke rumah orangtuanya, Michael menuturkan keluhannya pada ayahnya.  Ayahnya mendengar dengan baik tanpa berbicara apa-apa.  Setelah Michael selesai bercerita, ayahnya bangkit berdiri dan kemudian datang lagi dengan membawa beberapa tumpuk buku-buku, dan diletakkan di meja di depan Michael. Sebagian buku itu sudah berwana kuning, sepertinya sudah lama disimpan.

"Bukalah dan bacalah !" kata ayahnya.
Michael mengambil salah satu dari buku itu dengan penuh rasa ingin tahu.  Satu persatu halaman dibukanya.  Ia melihat tulisan ayahnya, agak miring dan aneh, ada yang jelas ada juga yang semrawut, bahkan ada juga tulisan yang ditulis dengan tinta yang tebal sampai-sampai menembus beberapa halaman di belakangnya.

Michael membaca isi buku itu satu persatu.  Semuanya merupakan catatan-catatan ringan dan sepele. 

"Suhu udara berubah menjadi dingin, ia mulai menjawab baju wol untuk anak-anakku." 
"Ia membuatkan masakan kesukaanku yang sudah lama kuinginkan."
Ada banyak tulisan sepele lainnya. Semuanya berisi catatan kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, cinta ibu kepada anak-anak dan keluarga.

Dengan berlinang air mata Michael berkata kepada ayahnya, "Kalian berdua selalu penuh cinta.  Saya sangat kagum kepada ayah dan ibu."
"Tidak perlu kagum, kamu juga bisa," kata ayahnya
Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun, tidaklah mungkin menghindari pertengkaran.  Ibumu kalau kesal, suka cari gara-gara dan sering mengomel melampiaskan kemarahannya.  Aku ikut terbawa kesal, tetapi kemudian aku menuliskan apa yang Ibumu sudah lakukan demi rumah tangga ini. Seringkali hatiku penuh amarah saat menuliskannya, sehingga pen yang aku gunakan menembus kertas hingga sobek. Terkadang aku harus berulangkali merobek kertas dan menuliskan kembali.  Tetapi aku terus berusaha menuliskan semua kebaikannya. Kalau aku belum bisa menemukan kebaikan ibumu yang harus kutuliskan, aku diam merenung hingga akhirnya emosiku lenyap, yang tinggal adalah kesadaran diriku akan kebaikan hati ibumu. 

Michael mendengarkan dengan baik, lalu bertanya," Apakah ibu pernah melihat semua catatan ayah ini ?"
Ayah tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku tentang kebaikanku.  Seringkali kami saling bertukar buku dan saling mentertawakannya."

Michael terdiam, dan kemudian sadar akan rahasia pernikahan orangtuanya, "Mencintai itu sangat sederhana, yaitu ingat dan catat semua kebaikan psangan, dan lupakan segala kesalahannya.

 

Kamis, 12 September 2013

Tuhan Menjawab Doa - 2

Tuhan Menjawab Doa Bahkan Sebelum Kita (sempat) Berdoa - 2

Cerita ini adalah cerita untuk peristiwa kedua yang dialami penulis dengan judul yang sama. Cerita ini saya dapatkan dari teman yang mendapatkannya dari temannya yang juga mendapatkannya dari temannya lagi.....
 
 
Beberapa waktu lalu, adik saya terkena usus buntu. Ia sudah merasakan itu sejak dua minggu sebelumnya, namun tidak pernah mengeluhkan tentang sakitnya itu. Hingga pada hari minggu ia menderita kesakitan, dan didiagnosa penyakit maag nya kambuh kembali. Senin esoknya penyakitnya makin parah, dan kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit saja.

Mau ke rumah sakit mana, RS A atau RS R ?
Saya memikirkan dua alternatif itu. R lebih dekat ke rumah tapi A memiliki reputasi yang lebih bagus. Saya tidak bisa memilih dan manusia lama saya masih berpikir untuk mengandalkan logika, sampai untunglah saya teringat untuk meminta petunjuk pada Tuhan. Saya tidak masuk ke dalam kamar menutup pintu dan berlutut berdoa, karena itu belum jadi kebiasaan saya, namun saya mengucapkannya dalam hati sambil beraktivitas.. ("Tuhan, bantu saya memilih rumah sakit A atau R?")

Saya bahkan tidak punya gambaran bagaimana Tuhan akan menjawabnya. Yang pasti saya yakin bukanlah berupa suara mengguruh disertai halilintar menyambar, "AAA !!!"
Atau e-mail yang tiba-tiba muncul, atau sms nyasar..

Namun jawaban NYA  ternyata cepat, bahkan tidak sampai dalam satu jam.
Bagaimana?
Bagaimana Ia menjawab?  IA menjawab dengan menanamkan keyakinan penuh pada hati saya untuk memilih rumah sakit R.

Kenapa bukan berupa sesuatu yang ajaib? Kenapa bukan berupa sesuatu yang menakjubkan?

Tapi memang begitulah terkadang Tuhan berbicara, manusiawi dan lembut. Mari kita belajar untuk mendengar suara NYA.
Sore itu saya belajar mendengar suaraNYA. Pilihan yang semula 50% - 50% menjadi 80% - 20%, namun itu sudah cukup untuk saya. Kami pun menunggu suami saya pulang yang akan mengantarkan kami ke rumah sakit R.

Setengah delapan, setengah sembilan....suami saya belum datang juga.
Jam enam sore tadi, saat kami berbicara melalui telepon, ia mengatakan sedang dalam perjalanan menuju rumah dosennya. Saya memperkirakan ia tiba di rumah jam tujuh. Tapi sekarang sudah hampir setengah sembilan. Suami saya sudah di akhir skripsi, dan itu berarti pertemuan dengan dosennya tidak mungkin selama itu.

Akhirnya ia tiba juga jam setengah sembilan lebih. Ia bercerita ada dua mahasiswa yang mengambil kelas malam juga, tengah berkonsultasi dengan dosen tersebut, dan mereka kemudian mengobrol tentang hal-hal biasa lama sekali. Saat giliran suami saya, dosen tersebut cuma memerlukan waktu sepuluh menit untuk melakukan ACC dan pertemuan itu berakhir. Tapi suami saya sudah menunggu lebih dari dua jam, yang berarti kepergian kami ke rumah sakit juga tertunda lebih dari dua jam !

Percayakah Anda bahwa IA  mengatur segala sesuatu indah pada waktu NYA?
Semula saya tidak terlalu percaya, tapi pengalaman saya membuat saya sekarang percaya.
  
Adik saya sudah sangat kesakitan di rumah. Bergerak sedikit saja ia mengerang dan merintih. Entah kenapa sama sekali tidak terlintas di pikiran saya untuk memanggil taksi, atau meminta bantuan tetangga atau saudara. Adik saya mengatakan ia takut usus buntunya sudah pecah, kalau memang itu usus buntu. Saya mengatakan padanya berdoa saja.

Kami pun tiba di UGD rumah sakit jam setengah sepuluh malam. Dan seperti dugaan saya sebelumnya memang penyakit yang diderita adik saya adalah usus buntu.
“Dan ini harus segera ditangani, ada dokter yang sedang mengoperasi pasien usus buntu juga di atas, Anda mau langsung dioperasi malam ini?” demikian petugas di UGD menyampaikan kepada kami.

Tentu saja, adik saya sudah sangat kesakitan seperti itu. Ibu dan ayah saya mengurus pengambilan sample darah untuk memastikan diagnosa dokter UGD itu.  Suami saya menelepon perusahaan asuransi, sementara saya menunggu adik saya di ruang darurat UGD yang dibatasi tirai-tirai.
 
“Kita berdoa yuk..” aku mengajak.

Doa yang jauh dari sempurna, kami panjatkan malam itu. Kami berdoa agar Tuhan memilihkan dokter untuk kami, agar Tuhan ikut campur tangan dalam operasi itu.

Operasi pun dilakukan. Jam satu malam, dokter keluar dari ruang operasi untuk memperlihatkan usus buntu yang berhasil ia potong.
 
“Kenapa baru sekarang datang?” dokter itu sedikit marah. “Usus buntunya sudah lama pecah, dan sudah bernanah ke mana-mana, sampai-sampai yang baru kami ambil saja sudah 50 cc!”

Kami terbengong dan ternganga.

Ketika operasi selesai dan dokter itu keluar dengan pakaian biasa, ia berkata adik saya masuk ICU. Meremang rasanya tubuh ini. Saya mengira ini cuma operasi usus buntu biasa, tapi nyatanya adik saya sekarang di ICU dengan tiga selang dipasang dalam perutnya.

Kami menunggu mondar-mandir di ICU tengah malam itu, memperhatikan foto-foto para dokter yang ada di rumah sakit itu.

Ternyata, dokter yang melakukan operasi tadi, yang memarahi kami tadi, adalah direktur rumah sakit ini ! Dokter itu mempunyai deretan gelar yang banyak sekali di belakang namanya. Ia orang yang pintar sekali yang bahkan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri. Dan kami bahkan sebelumnya tidak tahu namanya, kami bahkan tidak pernah meminta ingin dioperasi oleh dokter itu.

“Oh ya, ia dokter terkenal..” tante saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

“Oh ya, ia biasanya praktek setelah jam sembilan malam..” om saya mengatakannya pada saat ia tahu siapa yang melakukan operasi itu.

Apakah Anda merinding? Saya juga.
 
Tuhan telah menjawab doa bahkan jauh sebelum doa itu diucapkan naik ke hadirat Nya. Ia sudah menyediakan jauh sebelum segala peristiwa terjadi. Percakapan dua mahasiswa kelas malam itu dengan dosen, yang cuma berbicara tentang basa-basi. Apakah itu ada tujuan Nya? Oh ya. Menurut Anda, kalau suami saya tiba jam tujuh dan kami sampai rumah sakit lebih awal, apakah mungkin dokter yang melakukan operasi adalah dokter lain, yang mungkin saja terkejut dengan kondisi adik saya yang usus buntunya sudah pecah dan nanah mengalir ke mana-mana ? Adik saya bisa saja meninggal.

Anda tahu ucapan direktur rumah sakit itu pada siang hari setelah adik saya sadar di ICU? Ia bilang, “..kamu ini paling menyusahkan operasi !”
Seorang direktur rumah sakit besar dengan deretan gelar di belakangnya, dan pernah melakukan operasi dengan dokter asing di luar negeri mengatakan itu operasi yang sulit!

Bukankah pekerjaan Tuhan sangat luar biasa?

Pada saat saya bertanya pada Nya, rumah sakit A atau R, ya Tuhan? Ia menjawab, R saja, Aku memilihkan yang terbaik untukmu. Kusediakan ia di sana, sedang melakukan operasi usus buntu juga, karena cuma ia yang bisa melakukan operasi yang sulit ini. Tapi jangan datang terlalu cepat, nanti kau diberikan pada dokter lain. Datanglah tepat pada waktu Ku. Segala sesuatu indah pada waktu Ku.

Dan malam itu di UGD, saya berdoa dengan adik saya, pilihkan dokter untuk kami, Tuhan, campur tangan dalam operasi ini, ya Tuhan.

Anda tahu, saya membayangkan saat itu Tuhan tersenyum.
"Anakku, Aku sudah memilihkan dokter untukmu jauh sebelum kau meminta padaKu, Aku sudah turut campur dalam segala sesuatunya untuk mengantarmu tepat pada waktu Ku.

Ya. Ia menjawab doa, bahkan sebelum kita (sempat) berdoa.

Rabu, 11 September 2013

Makian dan Pujian - Pohon yg kehilangan rohnya


Ada satu kebiasaan unik yang ditemui pada penduduk asli yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan.   Penduduk asli yang tinggal di sana mempunyai sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon.

Untuk apa ?
Kebiasaan ini dilakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Tujuannya supaya pohon itu segera mati.

Caranya ?
Beberapa penduduk yang kuat dan berani memanjat hingga ke atas pohon itu.  Ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka bersama-sama berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam dalam sehari.  Hal ini dilakukan terus menerus selama kurang lebih empat puluh hari.

Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya akan mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga akan mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk asli ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup tertentu seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya.

Akibatnya, dalam waktu panjang, makhluk hidup itu akan mati. Hal ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Bahwa setiap kali kita meneriaki makhluk hidup, maka berarti kita sedang mematikan rohnya. 


Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda ?
"Ayo cepat !"
"Dasar lelet !"
"Bego banget sih !"
"Hitungan mudah begitu aja nggak bisa dikerjakan?"
"Berisik !"


Pernahkan Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati ?
"Saya menyesal menikah dengan orang seperti kamu !"
"Kurang ajar !"
"Bodoh, perempuan kampungan !"

Jika Anda seorang guru, pernahkah Anda memaki anak didik ?
"Tolol ! Soal mudah begitu saja tidak bisa. Kapan kamu mulai akan jadi pinter ?"
"Dasar anak nakal !"

Jika Anda seorang atasan, pernahkah Anda berteriak kepada bawahan saat merasa kesal ?
"Karyawan seperti  kamu banyak di luar sana.  Kalau resign, ada 1000 orang yang antri mengisi jabatanmu !"
"Kerja begini saja tidak becus ? Rugi saya menggaji kamu?

Ada banyak perkataan makian yang dapat kita lontarkan.
Ingatlah !
Dari kebiasaan penduduk Solomon kita belajar bahwa setiap kali kita berteriak memaki seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka dan sebagainya,maka berarti kita sedang membunuh orang tersebut perlahan-lahan.  Kita sedang mematikan roh orang tersebut.  

Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan yang kita keluarkan karena emosi kita, perlahan-lahan pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan kita.

Jadi, ketika masih ada kesempatan untuk berbicara baik-baik, cobalah untuk mendiskusikan mengenai apa yang Anda harapkan.

Coba kita perhatikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Teriakan, hanya kita berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, bukan ? Tujuannya supaya orang yang jauh itu mendengar.  Kalau kita berteriak pada orang yang jaraknya dekat, orang tersebut akan menjadi marah dan akan membalas berteriak.  Teriakan itu membuat hubungan kita yang dekat menjadi jauh. Tanpa sadar akhirnya kita pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi hanya karena perasaan-perasaan dendam,benci atau kemarahan yang kita miliki.

Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang ingatlah selalu.
Jika kita tetap ingin roh pada orang yang kita sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan.
Hanya ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan semakin dijauhi. Ataupun Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.

Saatnya sekarang, kita coba ciptakan kehidupan yang damai, tanpa harus berteriak-teriak untuk mencapai tujuan kita.

Damai di hati, damai di bumi.


Tuhan Menjawab Doa - 1

Tuhan Menjawab Doa Bahkan Sebelum Kita (sempat) Berdoa - 1

Dikutip dari kisah seseorang yang saya dapat dari seseorang yang diperolehnya dari seseorang lainnya.......
 
Senja itu hujan rintik-rintik membuat jalanan licin. Ayah saya berusia limapuluh sembilan tahun namun masih kuat mengendarai motornya, dan senja itu ia membonceng saya. Rumah saya terletak di pinggiran Bandung dengan jalanan sulit meliputi dua tanjakan curam, yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak menawarkan masalah apa-apa pada ayah saya, sampai senja itu.

Entah karena ban motornya yang gundul, entah karena jalan licin yang baru terguyur hujan, yang pasti di tikungan kedua, ayah saya kehilangan kendali akan motornya, dan motor itu jatuh ke arah kanan.

Saya bukan perempuan yang bisa bereaksi cepat jika ada sesuatu yang terjadi. Pada saat kedua anjing saya berkelahi dan yang satu mencakar bola mata yang lain (sampai tergantung keluar seperti film kartun), saya cuma bisa menangis melihatnya sementara suami saya langsung menelepon dokter hewan kami. Saya juga tidak pernah berlatih karate, dan terus terang bukan penggemar olahraga, sehingga sampai saat ini saya masih terheran-heran apa yang menyebabkan saya bisa bereaksi begitu cepat, tangkas, dan tepat.

Pada saat motor ayah saya oleng ke kanan (saya menggunakan rok sehingga posisi duduk saya miring), ayah saya terkena akibat terlempar ke kiri, tapi dengan posisi seperti harimau mengaum dengan kedua tangannya terangkat ke atas. Ia tidak bisa menahan gravitasi bumi yang menariknya dan didepannya adalah pohon tinggi serta benteng rumah orang. Tidak ada alternatif yang lain. Entah keningnya akan menghantam pohon, atau dinding. Tinggal pilih saja.

Ayah saya punya sejarah stroke dua kali. Jika kepalanya terbentur keras seperti itu saya bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Dan kejadian itu berjalan sangat cepat dalam hitungan tiga sampai lima detik.

Anehnya, bahkan sampai saat ini, saya masih bisa melihat kejadian itu di depan mata saya, karena saya menyaksikannya dalam adegan slow motion, benar, seperti ada remote kehidupan yang tombol slow motion nya ditekan. Saya masih bisa mengingat gerakan ayah saya yang seperti harimau mengaum siap menerkam pohon atau benteng rumah orang di depannya.

Dan saya, perempuan yang tidak pernah bereaksi cepat kecuali jika adegan hidup adalah rutinitas yang selalu berulang setiap hari, melompat turun dari motor yang oleng ke kanan, dan dengan gagah berani (sambil menyandang tas berat di bahu kanan), mencengkeram jaket ayah saya yang tebal, dan entah kenapa, punya kekuatan untuk menarik ayah saya sehingga tidak jadi menerkam pohon di depannya.

Cuma tiga sampai lima detik.

Tak ada waktu untuk berpikir. Tak ada waktu untuk berdoa. Tak ada waktu bahkan untuk memanggil nama Tuhan sekalipun. Secepat kedipan mata, bahkan saya pun tidak terpikir untuk melakukan hal itu. Tubuh saya yang melakukannya. Reflek saya yang melakukannya. Reflek? Yang benar saja. Handphone yang meluncur jatuh dari genggaman tangan saya saja, saya tidak mampu menangkapnya. Dalam keadaan nyaman di depan televisi menggenggam cangkir kopi panas saja, kopi saya tumpah tanpa ada yang menyenggolnya. Reflek?

Senja itu saya belajar bahwa Tuhan, penguasa semesta alam dengan galaksi besar tidak terhitung banyaknya, masih bisa memperhatikan seseorang (dua orang) yang berada di galaksi Bima Sakti, di planet bumi, di benua Asia, di negara Indonesia, di kota Bandung, di pinggiran jalan basah setengah kilometer dari rumah saya. Ia masih sempat menolong dengan menggerakkan tangan saya untuk menarik kembali ayah saya yang sedang terjun bebas ke sebuah batang pohon. Padahal, benar, saya bahkan tidak sempat memanggil nama Nya, apalagi berdoa melipat tangan.

 

Kamis, 13 Juni 2013

Hadiah Untuk Ayah dan Ibu

 Kisah berikut ini sangat menyentuh perasaan, dikutip dari buku "Gifts From The Heart for Women" karangan Karen Kingsbury.
 
Di sebuah kota di California , tinggal seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang bernama Luke. Luke gemar bermain bisbol. Ia bermain pada sebuah tim bisbol di kotanya yang bernama Little League.
Luke bukanlah seorang pemain yang hebat. Pada setiap pertandingan, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kursi pemain cadangan. Akan tetapi, ibunya selalu hadir di setiap pertandingan untuk bersorak dan memberikan semangat saat Luke dapat memukul bola maupun tidak.
Kehidupan Sherri Collins, ibu Luke, sangat tidak mudah. Ia menikah dengan kekasih hatinya saat masih kuliah. Kehidupan mereka berdua setelah pernikahan berjalan seperti cerita dalam buku-buku roman. Namun, keadaan itu hanya berlangsung sampai pada musim dingin saat Luke berusia tiga tahun. Pada musim dingin, di jalan yang berlapis es, suami Sherri meninggal karena mobil yang ditumpanginya bertabrakan dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Saat itu, ia dalam perjalanan pulang dari pekerjaan paruh waktu yang biasa dilakukannya pada malam hari.
"Aku tidak akan menikah lagi," kata Sherri kepada ibunya. "Tidak ada yang dapat mencintaiku seperti dia".
"Kau tidak perlu menyakinkanku," sahut ibunya sambil tersenyum. Wanita tua itu, Ibu Sherri, adalah seorang janda dan selalu memberikan nasihat yang dapat membuat Sherri merasa nyaman. 
 
Inilah nasihat ibunya kepada Sherri, "Dalam hidup ini, ada seseorang yang hanya memiliki satu orang saja yang sangat istimewa bagi dirinya dan tidak ingin terpisahkan untuk selama-lamanya. Namun jika salah satu dari mereka pergi, akan lebih baik bagi yang ditinggalkan untuk tetap sendiri daripada ia memaksakan mencari penggantinya."

Sherri sangat bersyukur bahwa ia tidak sendirian.Ibunya pindah untuk tinggal bersamanya. Bersama-sama, mereka berdua merawat Luke. Apapun masalah yg dihadapi anaknya, Sherri selalu memberikan dukungan sehingga Luke akan selalu bersikap optimis. Setelah Luke kehilangan seorang ayah, ibunya juga selalu berusaha menjadi seorang ayah bagi Luke.
Pertandingan demi pertandingan, minggu demi minggu, Sherri selalu datang dan bersorak-sorai untuk memberikan dukungan kepada Luke, meskipun ia hanya bermain beberapa menit saja.
Pada suatu hari, tidak seperti biasanya, kali ini Luke datang ke pertandingan seorang diri. Ia segera menghampiri pelatihnya dan berkata,  "Pelatih, bisakah aku bermain dalam pertandingan ini sekarang? Ini sangat penting bagiku. Aku mohon ...."
Pelatih mempertimbangkan keinginan Luke. Dalam beberapa latihan, Luke masih kurang dapat bekerja sama antar pemain. Namun dalam pertandingan sebelumnya, Luke berhasil memukul bola dan mengayunkan tongkatnya searah dengan arah datangnya bola.
Tetapi dalam beberapa latihan terakhir ini Luke tampak berlatih ekstra keras.  Pelatih kagum tentang kesabaran dan sportivitas Luke. 
 
Akhirnya pelatih memutuskan mengiyakan permintaan Luke.
"Tentu, kamu dapat bermain hari ini," jawabnya sambil mengangkat bahu, kemudian ditariknya topi merah Luke. "
Sekarang, lakukan pemanasan dahulu !"
Hati Luke bergetar saat ia diperbolehkan untuk bermain.
Sore itu, ia bermain dengan sepenuh hatinya. Ia berhasil melakukan home run dan mencetak dua single. Ia pun berhasil menangkap bola yang sedang melayang sehingga membuat timnya berhasil memenangkan pertandingan. Tentu saja pelatih sangat kagum melihatnya. Ia belum pernah melihat Luke bermain sebaik itu.
 
Setelah pertandingan, pelatih menarik Luke ke pinggir lapangan.
"Pertandingan yang sangat mengagumkan," katanya kepada Luke. "Aku tidak pernah melihatmu bermain sebaik sekarang ini sebelumnya. Apa yang membuatmu jadi begini?"
Luke tersenyum dan pelatih melihat kedua mata anak itu mulai penuh oleh air mata kebahagiaan. Luke menangis tersedu-sedu. Sambil sesunggukan, ia berkata "Pelatih, ayahku sudah lama sekali meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Ibuku sangat sedih. Ia buta dan tidak dapat berjalan dengan baik, akibat kecelakaan itu. Minggu lalu,......Ibuku meninggal." Luke kembali menangis
.
Kemudian Luke menghapus air matanya, dan melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata, "Hari ini ......., hari ini adalah pertama kalinya kedua orangtuaku dari surga datang pada pertandingan ini untuk bersama-sama melihatku bermain. Dan tentu saja aku tidak akan mengecewakan mereka.......". Luke kembali menangis terisak-isak.
Sang pelatih terhenyak dan tak dapat berkata-kata.  Tetapi hatinya berkata bahwa ia sangat bersyukur sudah membuat keputusan yang tepat, dengan mengizinkan Luke bermain sebagai pemain utama hari ini. Sang pelatih yang berkepribadian sekuat baja, namun kali ini ia hanya mampu tertegun. Ia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun untuk menenangkan Luke yang masih menangis. Tiba-tiba, "baja" itu pun meleleh. Sang pelatih tidak mampu menahan perasaannya sendiri, air mata mengalir dari kedua matanya, bukan sebagai seorang pelatih, tetapi sebagai seorang anak.
Sang pelatih sangat tergugah dengan cerita Luke, ia sadar bahwa dalam hal ini, ia belajar banyak dari Luke. Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan orang tuanya, walaupun ayah dan ibunya sudah pergi untuk selamanya. 
Luke baru saja kehilangan seorang Ibu yang begitu mencintainya. Sang pelatih sadar, bahwa ia beruntung ayah dan ibunya masih ada. Mulai saat itu, ia berusaha melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, membahagiakan mereka, membagikan lebih banyak cinta dan kasih untuk mereka.  Dia menyadari bahwa waktu sangat berharga, atau ia akan menyesal seumur hidupnya.

Refleksi Diri :

Kita dapat belajar untuk memiliki hati seperti Luke yang masih berusia 7 tahun.  Betapa ia mencintai kedua orangtuanya, meski ia tidak pernah mengenal dengan baik ayahnya yang sudah meninggal sejak ia masih kecil. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua yang dicintainya.
Banyak cara yg bisa kita lakukan untuk memberikan yang terbaik bagi ayah dan ibu, mengisi hari-hari mereka dengan kebahagiaan. Sisihkan lebih banyak waktu untuk mereka. Raihlah prestasi dan hadapi tantangan seberat apapun, melalui cara-cara yang jujur untuk membuat mereka bangga terhadap kita. Dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji, yang membuat mereka malu.
Kepedulian kita pada mereka adalah salah satu kebahagiaan mereka yang terbesar. Bahkan seorang anak berusia 7 tahun berusaha melakukan yang terbaik untuk
membahagiakan ayah dan ibunya.
Bagaimana dengan Anda dan Saya ?
Berapakah usia Kita saat ini ? Berapa usia orangtua Kita saat ini ?
Apakah Kita masih memiliki kesempatan tersebut ? Atau kesempatan itu sudah hilang untuk selamanya........?

Berbuatlah sekarang. Jangan tunggu nanti atau besok !!


Selasa, 28 Mei 2013

KEBIJAKSANAAN

Di Tiongkok pernah ada seorang Giri yang sangat dihormati oleh muridnya dan orang lain yang mengenalnya karena ketegasan dan kejujurannya.

Suatu hari, 2 murid menghadap  Sang Guru. Mereka bertengkar hebat dan  nyaris beradu fisik. Keduanya berdebat tentang hitungan 3x7.
Murid pandai mengatakan 3 x 7 =  21.
Murid bodoh bersikukuh mengatakan 27.

Murid bodoh mengajak murid pandai  untuk meminta GURU bertindak sebagai Juri untuk mengetahui siapa diantara mereka yang benar.

Si bodoh mengatakan :
"Jika saya yang benar, yaitu 3 x 7 = 27 maka engkau harus mau dihukum cambuk 10 kali oleh Guru. Tet
api jika kamu yang benar, yaitu  3 x 7 = 21, maka saya bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri. Hahahaha."

Demikianlah Si Bodoh menantang dengan sangat yakin akan kebenaran pendapatnya.

Murid bodoh bertanya kepada guru mereka,"Katakan Guru, mana sesungguhnya yang benar ?"

Tanpa menjawab, Sang Guru segera mencambuk murid yang pandai sebanyak 10 cambukan. 
Murid pandai itu kaget.  Ia segera melakukan protes keras terhadap Gurunya.
"Mengapa Guru mencambukku ?  Bukankah jawabanku yang benar ?" kata murid pandai itu sambil meringis kesakitan. 

Sang Guru menjawab dengan tenang, "Hukuman ini bukanlah untuk hasil hitunganmu, tetapi untuk KETIDAK BIJAKSANAAN dirimu yang mau berdebat dengan orang bodoh yang tidak tahu kalau 3 x 7 adalah 21"

Guru melanjutkan lagi kata-katanya,
"Lebih baik melihatmu dicambuk berkali-kali dan kemudian menjadi lebih arif dan bijaksana, daripadar harus melihat satu nyawa terbuang sia-sia hanya karena masalah sepele."

-----------------------  Refleksi

Demikian pula yang sering terjadi di dalam kehidupan kita.  Seringkali kita sibuk memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.  Masalah kecil kita buat menjadi besar. 

Barangkali perdebatan itu dimulai oleh orang lain.   Kita menjadi emosi dan ikut-ikutan memperdebatkannya pula.  Orang yang memulai memang salah.  Tetapi kita juga sama salahnya atau bahkan lebih salah daripada orang yang memulai perdebatan.

Diam bukan berarti kalah. 
Ikut memperuncing perdebatan sama artinya memperkeruh suasana dan membuat masalah semakin parah. 
Mengalah bukan berarti bodoh. 
Bijaksana adalah orang yang mampu mengontrol emosi dan mampu mengendalikan pikiran tetap jernih, meski hati mulai menjadi panas.
 

Cara Menyampaikan Pesan

Suatu hari, seorang tukang kayu yang buta huruf menerima sepucuk surat. Karena ia buta huruf, maka ia tergesa-gesa menuju ke rumah temannya, si penjual daging, yg punya watak keras untuk minta tolong membacakan surat.

"Ini surat dari putramu !", seru Si Tukang Daging. "Dengar, begini bunyinya ! Ayah aku sakit dan tidak punya uang sesenpun, tolong kirimkan aku sejumlah uang sesegera mungkin.
Putramu".


Si Tukang Daging membacakan surat itu dengan keras dan kasar. Si Tukang Kayu menjadi marah, dan berkata, "Dasar anak tak tahu diri ! Memangnya dia siapa memerintah aku, ayahnya? Jangan harap aku akan mengirimi dia uang se-sen pun !"

Dalam kemarahannya ia pulang kembali ke rumahnya.
Di perjalanan ia bertemu sahabatnya, Si Penjahit yang bersuara lembut.

Si Tukang Daging bercerita tentang isi surat tersebut kepada Si Penjahit.
"Ini suratnya, cobalah engkau membaca surat putraku ini.  Sungguh sangat tidak tahu sopan santun ia sekarang".

Si penjahit pun lalu membaca surat itu dengan suaranya yang lembut, tenang, dan jelas.

Sambil mendengar Si Penjahit membacakan surat itu, Si Tukang Kayu itu  menjadi sedih.  Tiba-tiba surat itu berbunyi sangat lain.

"Oh anakku malang!", katanya dengan cemas.
"Ia pasti sangat menderita, lebih baik aku segera mengirimnya uang sekarang juga"

Dengan bergegas Si Tukang Kayu menuju rumahnya.  Ia ingin segera mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sakit di tempat yang jauh. 

------------ REFLEKSI

Pesan sangat tergantung pada cara penyampaiannya.  Dengan kalimat yang sama namun disampaikan dengan intonasi dan intensitas suara yang berbeda, akan menghasilkan pesan yang berbeda pula.

Bila kita renungkan, konflik yang sering terjadi antara pasangan, sahabat, saudara, rekan kerja, dan lainnya, seringkali bukan karena ada masalah besar dan rumit yang tidak bisa dipecahkan.  Namun karena kita tidak dapat mengatur cara menyampaikannya.

Emosi  membuat kita menyampaikan pesan dengan keras dan bisa-bisa menjadi kasar, terutama saat kita tidak setuju.  Kalau kita menyampaikannya dengan sikap lebih sabar, ramah, lembut, maka yang mendengarnya akan mudah menerima dan tidak akan terjadi pertentangan.

Mari kita belajar untuk menggunakan pilihan kata-kata yang baik, dengan intonasi yang baik dan sikap yang lebih baik lagi, sehingga pesan yang disampakan bisa sampai dengan baik dan memberi dampak yang baik bagi yang menyampaikan pesan dan yang menerima pesan tersebut.  Sehingga ketika ada masalah pun, dapat memberi hasil (solusi) yang lebih baik.


Jumat, 17 Mei 2013

Selalu Ada Kelebihan dalam Kekurangan

Alkisah di Cina ada seorang ibu tua yang memiliki 2 buah tempayan yang selalu digunakannya untuk mengambil air di sungai yang letaknya cukup jauh dari rumahnya.  Setiap kali akan mengambil air, ia memikul kedua buah tempayan itu di pundaknya dengan menggunakan sebatang bambu.

Salah satu tempayan itu retak, sehingga sesampai di rumah, air dalam tempayan itu hanya tinggal setengah.  Sedangkan tempayan satunya tanpa cela dan, sehingga air yang diambil tetap utuh, penuh. Setiap kali ibu tua itu mengambil dua tempayan air, setelah menempuh perjalanan yang panjang, sesampainya di rumah ia hanya mendapatkan satu setengah tempayan. 

Hal itu berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun.  Tempayan utuh merasa sangat bangga atas prestasi yang dicapainya.  Sementara tempayan retak menjadi malu dan sedih.  Ia tidak pernah bisa memenuhi kewajibannya. Ia merasa gagal.  

Dengan rasa malu, si tempayan retak mendatangi si ibu tua dan menyampaikan perasaannya. 
"Aku malu, sebab setiap kali Ibu mengambil air, aku tidak pernah mempertahankan air utuh sampai di rumah.  Air selalu bocor melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju rumahmu," demikian tempayan retak berkata dengan nada sedih.

Ibu tua itu tersenyum dan berkata,  "Tidakkah engkau melihat bunga beraneka warna di jalur yang engkau lalui, namun tidak ada di jalur yang dilalui oleh tempayan utuh ? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu, dan setiap hari dalam perjalanan pulang engkau menyirami benih-benih itu. Selama bertahun-tahun aku dapat memetik bunga-bunga cantik itu untuk menghias meja di rumahku. Kalau engkau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak seindah ini, sebab tidak ada bunga."

------------------- refleksi

Cerita di atas memang bukan kisah nyata.  Tetapi kita dapat melihat dalam kehidupan nyata banyak sekali cerita tentang orang dengan segala kekurangannya tetapi dapat menjadi "orang besar" yang dalam kekurangannya dapat memberikan manfaat bagi hidup orang lain.

Hellen Keller yang buta dan tuli, tetapi dapat memberi inspirasi bagi banyak orang yang menderita tuli dan bisu untuk mengikuti jejaknya, berkarya meraih cita-cita bahkan sudah banyak yang menjadi sarjana.



Nick Vujicic, terlahir tanpa tangan dan kaki, tetapi dapat mengguncang dunia dan memberi semangat bagi banyak orang untuk tidak menangisi dan tenggelam dalam kekurangan.  Ia malah dapat lebih terkenal dari orang dengan tubuh yang sempurna.  Ia bahkan dapat lebih bermakna bagi orang lain. 



Masih banyak daftar "orang terkenal" yang dapat kita lihat dengan jelas memiliki kekurangan.  Tetapi juga kita dapat melihat dengan jelas bahwa mereka dapat memberi makna bagi dirinya, bagi lingkungannya dan bagi sejarah dunia.

Kita semua mempunyai kekurangan masing-masing.  Ada yang sangat terlihat jelas, adapula yang tidak terlihat oleh orang lain. Tak seorang pun di dunia dapat menjadi tempayan yang sempurna tanpa cacat.  Kita memiliki keretakan dan kekurangan, tetapi itulah yang menjadikan hidup kita bersama menyenangkan dan memuaskan. Kita harus dapat menerima kekurangan setiap orang (termasuk kekurangan kita sendiri) apa  adanya, dan mencari yang terbaik dalam diri mereka (dan diri kita sendiri). Karena kita pun pasti punya banyak kelebihan.  

"Jangan menangisi keretakan kita, tetapi marilah menyirami benih-benih di sekeliling kita menjadi bunga yang indah dan harum."

GBU

 


Rabu, 08 Mei 2013

Impian Seorang Mahasiswi

Hari pertama kuliah di kampus, profesor memperkenalkan diri dan menantang kami untuk berkenalan dengan seseorang yang belum kami kenal. Saya berdiri dan melihat sekeliling ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahu saya. Saya menengok dan mendapati seorang wanita tua, kecil, dan berkeriput, memandang dengan wajah yang berseri-seri dengan senyum yang cerah.


Ia menyapa, "Halo anak manis, namaku Rose. Aku berusia delapan puluh tujuh. Maukah kamu memelukku?"
Saya tertawa dengan antusias menyambutnya, "Tentu saja boleh!".

Diapun memberi saya pelukan yang sangat erat.

"Mengapa kamu ada di kampus pada usia yang masih muda dan tak berdosa seperti ini?" tanya saya berolok-olok.
Dengan bercanda dia menjawab, "Saya di sini untuk menemukan suami yang kaya, menikah, mempunyai beberapa anak, kemudian pensiun dan bepergian."
"Ah yang serius?" tanya saya. Saya sangat ingin tahu apa yang telah memotivasinya untuk mengambil tantangan ini di usianya.

"Saya selalu bermimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan kini saya sedang mengambilnya!" katanya.

Setelah jam kuliah usai, kami berjalan menuju kantor senat mahasiswa dan berbagi segelas chocolate milkshake. Kami segera akrab. Dalam tiga bulan kemudian, setiap hari kami pulang bersama-sama dan bercakap-cakap tiada henti. Saya selalu terpesona mendengarkannya berbagai pengalaman dan kebijaksanaannya.

Setelah setahun berlalu, Rose menjadi bintang kampus dan dengan mudah dia berkawan dengan siapapun. Dia suka berdandan dan segera mendapatkan perhatian dari para mahasiswa lain. Dia pandai sekali menghidupkannya suasana.

Pada akhir semester kami mengundang Rose untuk berbicara di acara makan malam klub sepak bola kami. Saya tidak akan pernah lupa apa yang diajarkannya pada kami.

Dia diperkenalkan dan naik ke podium.
Begitu dia mulai menyampaikan pidato yang telah dipersiapkannya, tiga dari lima kartu pidatonya terjatuh ke lantai. Dengan gugup dan sedikit malu dia bercanda pada mikrofon.
Dengan ringan berkata, "Maafkan saya sangat gugup. Saya sudah tidak minum bir, tetapi wiski ini membunuh saya.  Saya tidak bisa menyusun pidato saya kembali, maka ijinkan saya menyampaikan apa yang saya tahu."

Saat kami tertawa dia membersihkan kerongkongannya dan memulai pidatonya.


"Kita tidak pernah berhenti bermain karena kita tua.  Kita menjadi tua karena kita berhenti bermain.  Ada rahasia untuk tetap awet muda, tetap bahagia, dan meraih sukses .
Rahasia itu adalah : Kamu harus tertawa dan menemukan humor setiap hari. Kamu harus mempunyai mimpi, karena bila kamu kehilangan mimpi-mimpimu, sama artinya kamu mati.
Ada banyak sekali orang yang berjalan di sekitar kita yang mati namun tidak menyadarinya !"

Ia berhenti sejenak, dan kembali melanjutkan pidatonya
"Sungguh jauh berbeda antara menjadi tua dan menjadi dewasa.  Bila kamu berumur sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur selama satu tahun penuh, tidak melakukan apa-apa, kamu tetap akan berubah menjadi dua puluh tahun.
Bila saya berusia delapan puluh tujuh tahun dan tinggal di tempat tidur selama satu tahun, tidak melakukan apapun, saya tetap akan menjadi delapan puluh delapan.
Setiap orang pasti menjadi tua.  Itu tidak membutuhkan suatu keahlian atau bakat.
Tumbuhlah dewasa dengan selalu mencari kesempatan dalam perubahan. Jangan pernah menyesal. Orang-orang tua seperti kami biasanya tidak menyesali apa yang telah diperbuatnya, tetapi lebih menyesali apa yang tidak kami perbuat.
Orang-orang yang takut mati adalah mereka yang hidup dengan penyesalan."

Rose mengakhiri pidatonya dengan bernyanyi "The Rose".
Dia menantang setiap orang untuk mempelajari liriknya dan menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Akhirnya Rose meraih gelar sarjana yang telah diupayakannya sejak beberapa tahun lalu.
Seminggu setelah wisuda, Rose meninggal dunia dengan damai.

Lebih dari dua ribu mahasiswa menghadiri upacara pemakamannya sebagai penghormatan pada wanita luar biasa yang mengajari kami dengan memberikan teladan bahwa tidak ada yang terlambat untuk apapun yang bisa kau lakukan.

Ingatlah, menjadi tua adalah keharusan, menjadi dewasa adalah pilihan.